Minggu, 27 Januari 2013

MALARI: Di Balik Sentimen Anti-Jepang


    
Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan ''Peristiwa Malari'', biasanya dikaitkan dengan penentangan modal asing khusunya Jepang di Indonesia. Saat itu mobil dan motor buatan Jepang di bakar di mana-mana. Tercetat 807 buah mobil dan 187 sepeda motor yang dirusak atau di sulut api. Selain itu jatuh korban manusia: sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang di tahan. Sebanyak 144 buah bangunan rusak berat dan 160 kh emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
      Peristiwa itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannnya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena di jaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Kemudian meletuslah kerusuhan dan pembakaran di Senen dan di beberapa tempat lain di Jakarta. Ketika pulang ke Jepang, tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00 pagi PM Tanaka berangkat dari Istana tidak dengan mobil melainkan diantar Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke Halim Perdanakusuma. itu memperlihatkan bahwa suasana kota Jakarta masih mencekam. 

            Apakah betul peristiwa ini luapan sentimen anti (modal) Jepang? Tulisan di blog ini menggambarkan bahwa hipotesis itu tidak tepat, aktivitas pembakaran barang-barang buatan/merek Jepang hanyalah dalih dari pihak yang bertikai bahkan bersaing meraih kekuasaan tertinggi. Kasus ini mencerminkan  friksi elit milliter, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Meoertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Beberapa pengamat melihat Peristiwa itu sebagai ketidaksenangan masyarakat terhadap aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto ( Ali Moertopo, Soedjono Humardani,dll.) yang memiliki kekuasaan teramat besar.
             Setelah terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan,pembakaran, dan penjarahan, maka Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkopkamtib dan mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden di bubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono didubeskan dan digantikan Yoga Sugomo. Bagi Soeharto, kerushuan 15 januari 1974 mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM jepang. Malu yang taktertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya sangat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tanpan berampun terhadap pihak yang mengusik pemerintah. Selanjutnya ia sangat selektif memilih pembantu dekatnya anatar lain dengan kriteria ''pernah menjadi ajudan presiden''. Jadi, perisriwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru: sejak itu represi dijalankan lebih sistematis.

Malari sebagai Wacana
      Di dalam buku Otobiografi soeharto(yang terbit tahun 1989) kasus Malari 1974 tidak disinggung sama sekali. padahal mengani petrus (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang.
      Dalam Memorial Jenderal Yoga (1990) peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Yoga Sugomo berada di New York ketika terjadi kerusuhan 15  Januari 1974. Tetapi lima hari itu ia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Sutopo Juano menjadi Kepala BAKIN. Menurut Yoga kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstarasi yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya adalah diskusi di kampus UI Jakarta (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjarifudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo dan T.B Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan ''Petisi 24 Oktober''. Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstaris antimodal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka Januari 1974 yang disertai bukan saja demonstrasi tetapi juga kerusuhan.
         Dalam buku-buku yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1990) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani ''membina'' orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam).
         Dalam kasus Malari, lewat organisasi tersebut dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kiai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman, sementara Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, Kantor Toyota, Astra dan Coca Cola -dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono. ini dilukiskan dalam buku Heru Cahyono, Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980, dari Pemilu sampai Malari(1992,hal.166). Sebaliknya dalam ''dokumen Ramadi' diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya''ada seorang Jenderal berinisial 'S' akan merebut kekuasana dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan, Pak Harto bakal jatuh''. Ramadi dikenal dekat dengan  Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam ''dokumen'' itu tentu mengacu kepada Jenderal Soemitro.
       Dengan berakhirnya Persitiwa Malari, untuk selanjutnya tidak ada lagi demonstrasi yang besar anti-Jepang. Meskipun dalam 3,5 tahun pendudukan Jepang di indonesia masih terdapat kesan tentang kekejaman yang di lakukan tentara Jepang yang tidak segan-segan, misalnya menempelang orang yang tidak mengikuti perintah mereka, namun disisi lain hal itu oleh sebagian masyarakat di terima sebagai suatu sikap penengakan disiplin. Pemerintah berupaya keras agar citra Jepang yang tidak jarang kasar serama masa pendudukan itu tidak sampai menyelusup kedalam pikiran orang Indoensia. Oleh sebab itu Departemen penerangan era Orde Baru langsung melarang pembuatan film Romusha. Alhasil, sampai sekarang kita-tanpa sentimen antimodal asing-masih bisa menikmati fasilitas yang diberikan mobil-mobil dan sepeda motor jepang dan barang produksi lainnya.
        Menarik melihat Presepsi orang Jepang terhadap peristiwa tersebut. Saya pernah di wawancarai seorang penulis Jepang yang menayakan apakah peristiwa Malari menguntungkan kompetitor Jepang dalam investasi di Indonesia seperti Korea Selatan? Sejak Oktober 1972 sampai dengan Januari 1974 terjadi pelonjakan harga minyak dunia dari 3 dollar menjadi 12 dollar per barrel. Jelas ini sangat berdampak bagi negara industri maju yang mengkonsumsi minyak. Ketika itu  AS sedang dilanda skandal Watergate. Di
antara negara maju,Perancis dan Jerman yang mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah harga minyak ini. Sang penulis Jepang itu bertanya kepada saya, apakah ada indikasi keterlibatan Perancis dalam Malari 1974? Saya tidak tahu, jawab saya. Ia juga tidak menceritakan kepada saya bahwa Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka itu kemudian di ajukan ke pengadilan karena terlibat korupsi pembelian pesawat Lockheed.

Sumber: Buku Menguak Misteri Sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar